MEMILIH & MENDEFINISIKAN PERILAKU SASARAN (TARGET BEHAVIOR) : BEHAVIOR – REALITAS
MAKALAH
Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Analisis Pengubahan Tingkah Laku
Dosen Pengampu : Dr. Imam Tadjri, M.Pd
Oleh
Muhammad Tarsudi 1301411057
Rizki Umu Amalia 1301411094
Muhammad Khoiru Reza 1301411105
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2002
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perliaku seseorang dalam memagar dapa dapat meahaminya memiliki beberapa makna yang dapat dilihat dari cara pandangannya antara lain dari sudut pandang psikoanalisa, humanistic, behavioral dan realitas. Dari bebrapa segi tersebut dapat dilihat pula sasaran perilaku yang seperti apa yang menjadi karakterisitik yujuan dari beberapa pandangan tersebut.
Target behavior adalah Respon yang diinginkan atau perilaku yang harus dibentuk oleh program modifikasi perilaku. Perilaku sasaran harus dipilih dengan cermat dan didefinisikan secara tepat dalam pengamatan dan terukur.
Dengan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa suatu perilaku yang diamati dan ingin diubah itu harus didefiniskikan terlebih dahulu agar dapat memberikan respon yang tepat. Sehingga dalam kajian ini didasarkan akan tingkah laku bermasalah dilanjutkan dengan memodifikasinya dan menunjukan perilaku yang seperti apa yang diharapkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perilaku yang harus didefinisi atau dimodifikasi menurut pendangan behavior ?
2. Bagaiman teknik modifikasi perilku dalam pendekatan behavior ?
3. Seperti apa perilaku yang diharapkan menurut pendekatan behavior ?
4. Bagaimana konsep teori realita dan perilaku menurut pandangannya ?
5. Bagaimana teknik modifikasi perilaku dari pendekatan realita ?
6. Apa perilaku yang diharapkan dari pendekatan realita ?
C. Tujuan
1. Memhami perilku yang dipili dan hendak dimodifikasi menurut pendangan behavior.
2. Memahami teknik modifikasi perilku dari pandekatan behavior.
3. Memahami perilku yang diharapakn dari pendekatan behavior.
4. Memhami konsep teori realita dan perilku menurut pandangan behavior.
5. Memahami teknik modifikasi perilaku pendekatan realita.
6. Memahami perilku yang diharapkan dari pendekatan realita.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Behavioristik
Perilaku sasaran atau target behavior yan g dimaksud disini adalah Respon yang diinginkan atau perilaku yang harus dibentuk oleh program modifikasi perilaku. Perilaku sasaran harus dipilih dengan cermat dan didefinisikan secara tepat dalam pengamatan dan terukur.
A. Perilaku yang bermasalah atau perilaku yang perlu dimodifikasi
Untuk memahami tentang bagaimana memilih dan mendefiniskan atau mengetahui respon yang tepat kita pertama harus memahami perilaku yang akan dimodifikasi terlebih dahulu perilaku tersebut antara lain :
1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan
2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah
3. Manusia bermasalah mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya
4. Tingkah laku maladaptif terjadi karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat
5. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.
B. Modifikasi perilaku
Dalam teori behavioristik modifikasi perilaku dapat dijabarkan menjadi beberapa teori, yakni :
1. Teori belajar klasik (Classical Conditioning)
Eksperimen teori belajar klasik pertama kali dikemukakan oleh Ivan Pavlov dengan anjing sebagai obyek eksperimennya.Dari hasil eksperimen tersebut dapat diketahui bahwa suatu perilaku terjadi karena adanya asosiasi antara perilaku dengan lingkungannya. Menurut Pavlov, lingkungan merupakan variabel tunggal penentu tingkah laku individu. Adapun klasifikasi lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku antara lain: Unconditioning Stimulus (UCS) yakni stimulus yang tidak dipelajari. Conditioning Stimulus (CS) yakni stimulus yang dikondisikan (dipelajari).menurut Pavlov ada dua hal penting yang perlu memperoleh perhatian, yaitu organisme yang selalu berinteraksi dengqn lingkungan dan dalam interaksi itu organisme dilengkapi dengan refleksi.
2. Teori belajar operan (Operant Conditioning)
Teori belajar operan ini mula-mula dikemukakan oleh E.L. Thorndike dan kemudian dikembangkan oleh B.F. Skinner. Skinner menyatakan bahwa perilaku individu akan terbentuk, dipertahankan, dikurangi dan dihilangkan jika ada konsekuensi yang menyertainya. Konsekuensi yang dimaksud adalah ganjaran (reinforcement) dan hukuman.Skinner melakukan eksperimennya dengan obyek tikus dan merpati. Dari hasil penelitian tersebut memberi gambaran bahwa perilaku akan terbentuk dan dipertahankan jika diberi ganjaran. Sebaliknya perilaku akan berkurang dan hilang jika diberi hukuman. Secara general menurut Skinner bahwa pribadi manusia dapat mempengaruhi tingkah lakunya melalui manipulasi lingkungan.
3. Teori belajar dengan mencontoh (Observasional Learning)
Teori belajar dengan mencontoh atau meneladani ini dipelopori oleh Albert Bandura yang mengemukakan “social learning theory”.Menurutnya terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara pribadi individu, lingkungan dan tingkah laku manusia yang tampak. Sekali lagi yang perlu diingat dari paradigma behavioris adalah interaksi antara individu dengan lingkungannya, sehingga proses belajar dengan mencontoh ini sangatlah berpeluang dalam mempengaruhi tingkah laku individu.
Teori belajar dengan mencontoh ini dapat dilakukan dengan modeling dan vicarious. Modeling merupakan proses belajar individu dengan menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan oleh orang lain sebagai model dengan melibatkan penambahan atau pengurangan tingkah laku yang diamati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Vicarious classical conditioning merupakan modeling yang digabung dengan conditioning classic.Modeling ini digunakan untuk mempelajari respon emosional. Proses vicarious classical conditioning ini dapat dilihat dari kemunculan respon emosional yang sama dalam diri seseorang dan respon tersebut ditujukan ke obyek yang ada didekatnya saat dia mengamati model itu.
Sedangkan teknik-teknik yang spesifik untuk melakukan modifikasi perliaku dalam Latipun disebutkan yakni :
1. Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan pada mengajar klien untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Wolpe (1958, 1969), pengembang teknik desensitisasi, mengajukan argument bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan dan bahwa respons kecemasan bisa dihapus oleh penemuan respons-respons yang secara intern berlawanan dengan respons tersebut.Dengan pengondisian klasik, kekuatan stimulus penghasil kecemasan bisa dilemahkan, dan gejala kecemasan bisa dikendalikan dan dihapus melalui penggantian stimulus.
Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi.Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasikan.Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengacam kepada yang sangat mengancam.Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan itu terhapus.Dalam teknik ini, Wolpe telah mengembangkan suatu respons, yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari suatu yang mengacam.
Desensitisasi sistematik ini merupakan teknik yang cocok untuk menangani phobia-phobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan.Desentisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakuatan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan yang neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual.
Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik : (1) kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yang bisa jadi menunjuk pada kesulitan-kesulitan dalam komunikasi antara terapis dan klien atau kepada keterhambatan yang ekstrim yang dialami oleh klien, (2) tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yang keliru, dan (3) ketidakmemadaian dalam membayangkan.
2. Terapi implosif dan pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental.Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan.Teknik pembanjiran berbeda dengan teknik desensitisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran tidak menggunakan agen pengondisian balik maupun tingkatan kecemasan.Terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan klien membayangkan situasi.Dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien.
“Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran, yang disebut terapi implosif”: Seperti halnya dengan desensitisasi sistematik, terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan. Terapi implosive berbeda dengan desensitisasi sistematik dalam usaha terapis untuk menghadirkan luapan emosi yang massif.Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus.Klien diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam.Dengan secara berulang-ulang dan dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terbatas.
3. Latihan asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran.Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal.
4. Terapi aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya.
Hal ini dilakukan dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki (simtomatik) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus yang tidak menyenangkan disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya.Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Butir yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaktif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.
5. Pengondisian operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme aktif.Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup membaca, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain dan sebagainya.
Menurut Skinner (1971), juka suatu tingkah laku diganjar, maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari pengondisian operan.
6. Pembentukan perilaku model
Perilaku model digunakan untuk : (1) membentuk perilaku baru pada klien, dan (2) memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup, atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor.Ganjaran berupa pujian sebagai ganjaran social.
7. Kontrak perilaku
Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa membantu klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan muncul.
Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku tertentu pada klien.Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak.Setelah perilaku dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien.Dalam terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih dipentingkan daripada pemberian hukuman jika kontrak perilaku tidak berhasil.
C. Perilaku yang diharapkan
Pendekatan behavior menghendaki perilaku yang bertujuan antara lain adalah sebagai berikut
1. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
2. Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan
3. Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terham-batnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan
4. Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung)
5. Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak
2. REALITA
Yang dimaksud perilaku sasaran adalh perilaku yang perlu mendapat perhatian dalam teori relaita maka untuk itu kita perlu memahami dulu perilaku bermaslahnya.
Perilaku Bermasalah
Orang yang menemukan gangguan mental menurut kalangan profesional sebenarnya adalah orang yang menolak realitas menurut pandangan Glasser. Penolakan individu terhadap realitas dunia sekitarnya (norma, hukum, sosial dan sebagainya) dapat sebagian saja tetapi dapat pula keseluruhan. Ada dua cara penolakan terhadap realitas itu,
(1) Mereka mengubah dunia nyata dalam dunia pikirnya agar mereka merasa cocok.
(2) Secara sederhana mengabaikan realitas dengan menentang atau menolak hukum yangada.
Untuk mengembangkan identitas, keberhasilan, individu harus mempunyai kebutuhan dasar yang dijumpai;
(1) Mengetahiu bahwa setidaknya seseorang mencintainya dan dia dicintai seseorang.
(2) Memandang dirinya sebagai orang yang berguna selain sebagai cara simultan berkeyakinan bahwa orang lain melihatnya sebagai orang yang berguna.
Kedua kebutuhan itu (cinta dan berguna) ada pada individu bukan salah satunya.Orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan identitas individu. Tentunya pihak lain juga sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan identitas ini, diantaranya kelompok sebaya, sekolah, aspek-aspek budaya dan lingkungan sosial lainnya dan setiap saat berinteraksi dan membentuk struktur kognitif anak (Calvin, 1980)
Sikap cinta dan penghargaan merupakan satu hal yang integral, satu sama lain terkait. Anak yang memperoleh cinta tetapi tidak mendapatkan penghargaan akan menimbulkan ketergantungan yang lain untuk memperoleh pengesahan.Pemenuhan kebutuhan atas penghargaan dan cinta itu tidak hanya terjadi pada hubungan orangt tua dan anak saja dapat pula dipenuhi dalam hubunngan yang lain, seperti hubungan guru dan siswa, hubungan dengan teman-temannya Dsb. Semua itu berakibat kumulatif kepada anak, yaitu membentuk identitasnya dengan identitas keberhasilan atau kegagalan.
Konseling realitas sebagian besar memandang individu pada perilakunya, tetapi berbeda dengan behavioral yang melihat perilaku dalam kontex hubungan stimulus respon dan beda pula dengan pandangan konseling berpusat pada person yang melihat perilaku dalam konteks fenomenologis. Perilaku dalam pandangan konseling realitas adalah perilaku dengan stadar yang objektif yang dikatakan denga ”reality”.
Reality therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal.Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat. Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas.
Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.
Menurut Glasser (1965, hlm.9), basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring lain”.
Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.
Menurut Glasser (1965, hlm.9), basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring lain”.
Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan.Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa mengubaha cara hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah laku.
Maka jelaslah bahwa terapi realitas yidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri.Perinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memilkiki tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya.
Modifikasi perilaku atau proses konseling
Konselor berperan sebagai:
- Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri.
- Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
- Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
- Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
- Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.
Teknik-Teknik dalam Konseling
- Menggunakan role playing dengan konseli
- Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dan relaks
- Tidak menjanjikan kepada konseli maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
- Menolong konseli untuk merumuskan perilaku tertentu yang akan dilakukannya.
- Membuat model-model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
- Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya
- Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya yang tak pantas.
- Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif.
Tujuan Konseling
Secara umum tujuan konseling reality therapy sama dengan tujuan hidup, yaitu individu mencapai kehidupan dengan success identity. Untuk itu dia harus bertanggung jawab, yaitu memiliki kemampuan mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personalnya.
Reality therapy adalah pendekatan yang didasarkan pada anggapan tentang adanya satu kebutuhan psikologis pada seluruh kebutuhannya; kebutuhan akan identitas diri, yaitu kebutuhan untuk merasa unik terpisah dan berbeda dengan orang lain. Kebutuhan akan identitas diri merupakan pendorong dinamika perilaku yang berada di tengah-tengah berbagai budaya universal.
Kualitas pribadi sebagai tujuan konseling realitas adalah individu yang memahami dunia riilnya dan harus memenuhi kebutuhannya dalam kerangka kerja. Meskipun memandang dunia realitas antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat berbeda tapi realitas itu dapat diperoleh dengan cara membandingkan dengan orang lain. Oleh karena itu, konselor bertugas membantu klien bagaimana menemukan kebutuhannya dengan 3R yaitu right, responsibility dan reality, sebagai jalannya.
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, karakteristik konselor realitas adalah sebagai berikut:
1. konselor harus mengutamakan keseluruhan individual yang bertanggung jawab, yang dapat memenuhi kebutuhannya.
2. Konselor harus kuat, yakin, tidak pernah ”bijaksana”, dia harus mampu menahan tekanan dari permintaan klien untuk simpati atau membenarkan perilakunya, tidak pernah menerima alasan-alasan dari perilaku irrasional klien.
3. konselor harus hangat, sensitif terhadap kemampuan untuk memahami perilaku orang lain
4. konselor harus dapat bertukar fikiran dengan klien tentang perjuangannya dapat melihat bahwa seluruh individu dapat melakukan secara bertangung jawab termasuk pada saat-saat yang sulit.
Konseling realitas pada dasarnya adalah proses rasional, hubungan konseling harus tetap hangat, memahami lingkungan. Konselor perlu meyakinkan klien bahwa kebahagiaannya bukan terletak pada proses konseling tetapi pada perilakunya dan keputusannya, dan klien adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Peranan Konselor
Konsseling realitas didasarkan pada antisipasi bahwa klien menganggap sebagai orang yang bertanggung jawab kepada kebaikannya sendiri.Konselor dapat memberikan dorongan, dengan memuji klien ketika melakukan tindakan secara bertanggung jawab dan menunjukan penolakannya jika klien tidak melakukannya.
Pendekatan reality therapy adalah aktif, membimbing, mendidik dan terapi yang berorientasi pada cognitive behavioral. Metode kontrak selalu digunakan dan jika kontrak terpenuhi maka proses konseling dapat diakhiri. Pendekatannya dapat menggunakan ”mendorong” atau ”menantang”. Jadi pertanyaan ”What” dan ”How” yang digunakan, sedangkan ”Why” tidak digunakan. Hal ini sangat penting untuk membuat rencana teru sehingga klien dapat memperbaiki perilakunya.
BAB III
KESIMPULAN
Pendekatan behavior dan realita merupakan dua dari beberapa pendekatan yang ada yang digunakan untuk membantu individu membentuk kembali struktur karakternya dengan cara pengoptimalan potensi yang ada dalam diri individu untuk menjadikan diri lebih baik dan bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Pada target perilaku behavior adalah untuk mengubah perilaku menjadi lebih tepat dan sesuai, dan pada target realita melihat perilaku melalui standar obyektif yang disebut realita (reality). Realita ini dapat bersifat praktis (realitas praktis), untuk melihat secara objektif.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald.2003. “Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi”. Bandung : Refika Aditama
Desmita.2010. “Psikologi Perkembangan”. Bandung : Remaja Rosdakarya
Feist, Jess dan Gregory J. Feist.2012. “Teori Kepribadian”. Jakarta : Salemba Humanika
No comments:
Post a Comment