Jerit tangis gadis cilik memecah keheningan malam.
Bentakan kakak lelakinya tak menghentikan tangisnya, malah kian meronta. Ketika
seorang kakak lelakinya menggendong paksa, gadis itu melawan dengan menggigit.
Sang kakak kesakitan, mengumpat.
Kartini, gadis cilik itu, tak ingin tidur terpisah
dari Ngasirah, ibunya (diperankan Nova Eliza). Dia sama sekali tak tahu dan tak
peduli aturan di rumah itu yang menentukan Ngasirah menjadi pembantu dan harus
tidur terpisah dari suaminya, Adipati Ario Sosroningrat (Dedy Sutomo). Ngasirah
turun status setelah Sosroningrat menikahi Raden Ajeng Moeriam (Djenar Maesa
Ayu) demi mengejar jabatan bupati.
Adegan perlawanan Kartini kecil itu menempati bagian
awal film Kartini besutan sutradara Hanung Bramantyo. Di film, yang beberapa
bagiannya menyajikan alur mundur, jiwa perlawanan Kartini sudah tampak semasa
kecil.
Belenggu Pingitan
Menginjak dewasa, Kartini harus menjalani masa
pingitan. Masa-masa membosankan itu membunuh jiwanya yang bebas, yang dengan
apik ditampilkan Dian Sastrowardoyo.
Beruntung, Kartini punya kakak lelaki, Sosrokartono
(Reza Rahadian), yang cerdas dan berwawasan luas. Dorongan dan warisan buku
darinya memberikan Kartini pintu keluar dari belenggu penjara masa pingitan.
Dia juga mulai tertarik dunia tulis. Kepada dua adiknya, Roekmini (Acha
Septriasa) dan Kardinah (Ayusitha), Kartini menularkan kesukaannya.
Kartini menikmati hari-harinya. Pikirannya menembus
dinding aturan adat yang membelenggu hanya karena dia perempuan. Perkenalannya
dengan Nyonya Ovink-Soer, istri asisten residen Jepara, membawa keuntungan
besar baginya. Atas usaha nyonya Belanda itu Kartini akhirnya mempublikasikan
rangkaian kata yang mengantarkan buah pikirannya. Kenalan Kartini pun
bertambah. Kartini kemudian karib dengan Stella Zeehandelaar (Rebecca Reijman),
feminis Belanda. Kebebasan Stella membuat iri Kartini, yang kemudian bertekad
memberikan pendidikan kepada anak-anak agar mereka bisa maju dan lepas dari belenggu
rutinitas turun-temurun.
Namun, angan Kartini terbentur aturan adat yang
dalam keseharian diterapkan dengan ketat oleh ibu tiri dan dua kakak lelaki
tirinya. Dia dianggap menginjak-injak tatakrama yang diwariskan leluhur.
Penilaian serupa juga diterima ayah Kartini dari bangsawan-bangsawan Jawa lain.
Kelebihan
Pertentangan antara nilai-nilai adat dan modern
itulah bumbu utama film ini. Hanung piawai membangun konflik sehingga drama
film ini terasa kuat, sukses menggonta-ganti perasaan sedih, lucu, geram, dan
semangat penonton. Dan, penempatan klimaks di pengujung film menjadi ending
yang sip.
Pilihan Hanung jitu menghindarkan Kartini dari sifat
membosankan. Dia rupanya belajar dari kesalahan para pembuat film biopic
sebelumnya, yang membosankan. “Makanya kali ini saya membuat film Kartini tidak
berbicara tentang kepahlawanan. Ini film drama,” kata Hanung saat premiere
beberapa waktu lalu.
Alhasil, sejak awal hingga akhir, Kartini jauh dari
kata garing. Sebaliknya, ditimpali music scoring yang pas, scene-scene humanis
dalam film amat menyentuh bahkan menyayat hati. Mulai dari adegan Kartini kecil
tak boleh tidur bareng ibu kandungnya, dua anak pengrajin ukiran mencegat
andong yang ditumpangi Kartini-Roekmini-Kardinah untuk memberikan hasil kebun,
Kartini mendengarkan petuah Ngasirah di pantai, hingga kesediaan Kartini
menerima pinangan RA Joyodiningrat.
Kekurangan
Keputusan untuk mencampuradukkan penggunaan bahasa
Jawa dan Indonesia dalam dialog-dialog tak hanya mengganggu telinga tapi juga
janggal. Bukan hanya karena bahasa Indonesia kala itu belum resmi lahir dan
yang ada baru bahasa Melayu pasar, tapi seberapa permisif keluarga Sosroningrat
dalam penggunaan bahasa di luar bahasa ibu dalam keseharian. Penggunaan bahasa
Jawa ngoko orang yang lebih muda kepada orang tua atau kawula terhadap keluarga
tuan juga tak pas, terlebih di dalam lingkungan keluarga bangsawan dan eranya
masih era pengagungan tradisi leluhur.
Sosok Sosroningrat pun hanya digambarkan sebagai
bangsawan yang melulu berurusan dengan kekuasaan dan seremoni-seremoni yang
mengitarinya. Pribadi Sosroningrat yang berpikiran maju dan berani melangkahi
tradisi hampir tak dihadirkan kecuali dari dukungannya terhadap usaha Kartini
menulis.
Padahal, Sosroningrat kerap mengajak anak-anaknya
untuk turun ke bawah guna menajamkan kepekaan sosial. Sosroningrat juga
merupakan pribadi yang peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Kepada Het
Klaverblad (Kartini-Roekmini-Kardinah), Sosroningrat memberikan pendidikan
formal dan nonformal dengan memanggilkan guru ke rumah. Tradisi diskusi
berjalan rutin di rumah mereka bersama sang ayah. Namun, aktivitas ini sedikit
pun tak tampak dalam film.
Meski merupakan pemimpin di antara kedua adiknya,
Kartini dalam film tampak terlalu superior. Kedua adiknya tak ubahnya
pelengkap. Padahal, mereka juga berpikiran maju. Sama seperti Kartini, Kardinah
memiliki sekolah –dan juga mendirikan perpustakaan umum serta rumahsakit
Keliaran Hanung dalam berimajinasi justru terkesan
konyol di beberapa bagian. Misal, scene saat Kartini ongkang-ongkang kaki
sambil makan kacang mete ketika kedua adiknya memasuki masa pingitan. Atau
scene saat Kartini-Roekmini-Kardinah nongkrong santai di atas tembok dengan
sebelah kaki untuk tapal dagu seperti ABG di masa kini. Jangankan melakukan,
bagi gadis darah biru pada masa itu memikirkan perbuatan itu pun tidak. Memang,
di satu sisi adegan tersebut bumbu yang membuat film lebih mudah diterima. Tapi
di sisi lain, justru melecehkan “daun semanggi”, julukan untuk ketiganya, yang
betapapun berpikiran maju tapi tetap menjunjung tinggi adat-istiadat.
Mungkin, Hanung berusaha mengisi fenomena masa lalu
dengan realita sekarang.
Untuk mendownload filmnya bisa kunjungi link dibawah ini